Serangan Israel ke Qatar: Tamparan Keras bagi Dunia Islam
Oleh. Mila Ummu Muthiah(Aktivis Muslimah)
Ledakan rudal Israel yang menghantam Doha, ibu kota Qatar, Selasa (9/9/2025), bukanlah peristiwa biasa. Untuk pertama kalinya dalam sejarah, Zionis berani melancarkan operasi militer terbuka di jantung negara Teluk yang menjadi tuan rumah pangkalan militer terbesar Amerika Serikat, Al-Udeid Air Base. Fakta ini mengundang pertanyaan tajam: apa arti keberadaan pasukan AS di Qatar jika tak mampu melindungi tuan rumahnya sendiri?
Washington yang kerap menarasikan diri sebagai “penjamin stabilitas kawasan” justru membiarkan sekutunya dipermalukan di depan dunia. Padahal, Al-Udeid bukan pangkalan kecil. Ia adalah pusat operasi udara AS di Timur Tengah, rumah bagi 10.000 lebih personel militer, serta pusat komando CENTCOM. Namun, ketika rudal-rudal Zionis menghantam distrik West Bay Lagoon—hanya berjarak 35 km dari pangkalan tersebut—AS memilih bungkam. Diamnya Washington hanya menegaskan bahwa komitmen perlindungan AS terhadap negara Teluk adalah mitos.
Qatar sendiri bukan negara miskin atau lemah. Ia memiliki cadangan gas alam terbesar ketiga di dunia, dengan pendapatan LNG yang menjadikannya salah satu negara ber-GDP per kapita tertinggi. Investasi globalnya, melalui Qatar Investment Authority (QIA), menjadikannya pemilik saham di perusahaan-perusahaan raksasa dunia. Namun, justru di balik kekayaan dan ketergantungan pada mitra Barat, Qatar dipermalukan di tanahnya sendiri. Zionis tahu pasti bahwa para petinggi Hamas sedang berada di Doha. Pertanyaannya, dari mana intelijen Israel mendapat informasi seakurat itu? Tak sulit menebak bahwa AS bisa saja menjadi pemasok informasi, mengingat Qatar menjadi tuan rumah perundingan Hamas-Israel atas permintaan Washington.
Serangan Israel ke Qatar hanyalah bagian dari rangkaian agresi lebih luas. Dalam 72 jam terakhir, Zionis menyerang enam negara sekaligus: Gaza, Lebanon, Suriah, Tunisia, Qatar, dan Yaman. Seolah mengirim pesan bahwa mereka tak terikat batas negara, hukum internasional, apalagi PBB. Dunia internasional pun bungkam, negara-negara Arab hanya menyampaikan kecaman basa-basi tanpa tindak lanjut nyata. Ironis, negeri-negeri yang menyimpan cadangan energi raksasa dan kekayaan melimpah, justru lumpuh menghadapi arogansi Zionis.
Dari sudut pandang geopolitik, serangan ke Qatar adalah sinyal uji nyali Israel terhadap AS. Seolah berkata: “Kami bisa mengebom di halaman belakangmu, dan kau takkan berbuat apa-apa.” Dengan demikian, Qatar seharusnya sadar: keberadaan pangkalan militer AS bukan jaminan keamanan, melainkan jerat ketergantungan. Ketika krisis terjadi, Washington lebih memilih menjaga kepentingannya sendiri ketimbang melindungi tuan rumah.
Namun dari perspektif ideologi Islam, pesan yang lebih tajam harus dibaca. Serangan ini kembali membuktikan bahwa dunia Islam tak memiliki pelindung sejati. Para penguasa Arab sibuk dengan proyek modernisasi, normalisasi, dan diplomasi semu, sementara darah umat terus tertumpah. Tak ada satu pun negara Muslim yang benar-benar bangkit menghadapi Zionis, meski Masjid al-Aqsa dinodai, Gaza dibantai, hingga kini Doha pun diguncang rudal.
Solusi tak bisa lagi ditambal dengan pertemuan darurat PBB atau sekadar retorika solidaritas. Umat Islam harus berhenti berharap pada lembaga internasional atau penguasa yang terikat kepentingan Barat. Jalan satu-satunya adalah membangun kekuatan umat melalui perjuangan politik Islam yang nyata: penyadaran berkesinambungan tentang kewajiban menegakkan khilafah dan jihad, serta upaya thalabun nushroh (meminta dukungan riil) kepada ahlul quwwah—kelompok yang memiliki kekuatan militer—untuk menegakkan kembali kepemimpinan Islam. Hanya Khilafah yang akan mampu mengomando seruan jihad, menyatukan potensi militer umat, dan mengusir penjajah kafir dari tanah-tanah kaum Muslim.
Serangan Israel ke Qatar adalah tamparan keras, bukan hanya bagi Doha, tetapi bagi seluruh dunia Islam. Ia mengingatkan kita bahwa tanpa perisai politik dan militer yang independen, kekayaan SDA sebesar apa pun hanya akan menjadi rebutan penjajah. Sudah saatnya umat Islam berhenti menjadi korban dan mulai menata kekuatan menuju kepemimpinan sejati yang akan mengembalikan martabat umat. Wallahu a'lam bishawwab.[]