Bijak Menilai Konten Pejabat
Oleh. Mila Ummu Muthiah
(Aktivis Perempuan)
TintaLiterasi-Di tengah hingar-bingar arus informasi
dan media sosial, fenomena “pejabat konten” bukan sekadar candaan
politik, melainkan cerminan dinamika baru dalam tata kelola pemerintahan.
Akhir-akhir ini, media sosial dipenuhi konten-konten aktivitas para pejabat
publik, mulai dari memberi bantuan kemanusiaan, memperbaiki jalan, menegur
pedagang, sampai bincang santai dengan para pelajar. Semuanya direkam, diedit
sebagus mungkin, kemudian di-upload ke berbagai media sosial.
Dilansir dari bbc.com (3-5-2025), Gubernur Jawa Barat Dedi
Mulyadi (KDM) dijuluki “gubernur konten” karena sering tampil di publik dan
media sosial. Pengamat komunikasi menilai strategi pendekatan yang dilakukan
KDM sebagai “investasi politik” untuk membangun citra kepemimpinannya ke depan.
Sementara pengamat kebijakan publik menilai KDM kerap
melontarkan wacana yang belum matang dan berujung pada kegaduhan, seperti
wacana mewajibkan vasektomi dari keluarga miskin yang ingin mendapat bantuan
sosial. Sontak wacana ini menuai pro kontra, dan sejumlah pihak menganggap
sebagai bentuk “diskriminatif” terhadap keluarga miskin.
Konten untuk Pencitraan?
Jika diamati, KDM sebenarnya mengikuti strategi komunikasi
yang mirip dengan Ridwan Kamil. Beliau rajin wara-wiri di media sosial dengan
berbagai konten yang terkesan pro generasi muda, sehingga berhasil menarik
atensi publik. Beliau paham demografi pemilik suara saat ini, lalu memanfaatkan
pemahaman tersebut dengan baik. Terlepas sekadar pencitraan atau sebagai bentuk
transparansi, strategi ini mampu mengambil hati masyarakat.
Tidak dimungkiri, bahwa sosok KDM sangat mencuri perhatian
masyarakat negeri ini, terlebih karena aspek sosialnya, membantu sebagian
rakyat miskin bahkan memberi uang yang tidak sedikit. Akan tetapi, terkait
dengan aspek pencitraan, sesungguhnya hal ini sudah sering kali terjadi dalam
sistem sekularisme kapitalisme. Bahkan dalam praktiknya terjadi sebelum ataupun
sesudah pemilu. Oleh karena itu, sistem ini menghalalkan segala cara, setiap
orang bebas berbuat dan bertingkah laku, bahkan berpendapat sekalipun.
Bijak Menilai
Mirisnya, kebiasaan mayoritas masyarakat Indonesia adalah
menggadang-gadang seorang tokoh politik yang baru populer di media sosial untuk
naik menjadi presiden. Alasannya, hanya karena tokoh tersebut sedang ramai
diperbincangkan kebaikannya.
Ingat dulu betapa populernya Ridwan Kamil, sampai beliau
dipuja-puja dan didorong-dorong untuk mencalonkan diri menjadi presiden saat
masih menjabat sebagai Gubernur Jawa Barat. Nyatanya baru masuk bursa Jakarta
saja sudah keok, dihina-hina, ditertawakan program kerjanya (yang saya akui
memang konyol), lalu belakangan dibongkar pula skandal perselingkuhannya dengan
seorang ani-ani. Dalam sekejap opini publik berbalik, from Hero to Zero.
Lalu lihat mantan presiden kita, dulu sangat populer, dipuja
dan digadang-gadang sebagai pemimpin yang bersih dan merakyat, sampai-sampai
diburu-buru untuk naik jadi presiden padahal belum lama menjabat sebagai
Gubernur, kemudian pada akhirnya menjadi cikal bakal debut ulang oligarki yang
terang-terangan di negeri ini. Ending-nya sama saja, dari dikagumi menjadi
dibenci dan dihina-hina.
Jangan pernah mengidolakan tokoh politik, sebersih atau
sehebat apa pun image-nya, sekeren apa pun omongannya yang beredar di media
sosial. Pada akhirnya politik di bawah sistem sekuler kapitalisme lebih
mementingkan pencitraan dari pada prestasi dan menunaikan amanah yang diemban.
Fenomena KDM menunjukkan betapa kita krisis kepemimpinan.
Pemimpin yang benar-benar mengurus rakyat itu langkah di sistem saat ini.
Mereka senang dengan KDM karena dianggap kebijakannya merakyat. Menghapuskan
wisuda untuk TK hingga SMA sangat mengurangi beban orang tua, dan yang terbaru
anak-anak yang suka tawuran dididik karakternya oleh TNI.
Baru yang seperti KDM saja, rakyat sudah terpesona. Bagaimana
kalau mereka tahu masa kepimpinannya Rasulullah saw., Umar Bin Khattab, Umar
Bin Abdul Aziz, Harun Ar rasyid, dan pemimpin-pemimpin Islam lainnya di masa
kekhilafahan. Benar-benar meriayah rakyatnya dengan bijak dan arif. Sejarah
mencatat banyak khalifah yang memilih hidup miskin, asal rakyatnya
sejahtera. Dan mereka bisa menyejahterakan
rakyat tanpa solusi vasektomi.
Sebab mereka memimpin dengan visi akhirat. Paham bahwa
kepemimpinan mereka akan dimintai pertanggungjawaban oleh Allah Swt. Bukan
hanya memastikan rakyatnya sejahtera, tapi juga memastikan rakyatnya bisa masuk
surga. Wallahu a’lam bishawwab.[]