Polemik Panjang Ijazah Jokowi
Oleh. Mila Ummu Muthiah
(Aktivis Perempuan)
TintaLiterasi-Polemik mengenai keaslian ijazah Presiden ke-7 RI, Joko
Widodo alias Jokowi, kembali menjadi sorotan publik. Kali ini seorang pengacara
asal Solo, Muhammad Taufiq, melayangkan gugatan ke Pengadilan Negeri (PN)
Surakarta pada Senin, (14/4). Taufiq mempertanyakan keabsahan ijazah SMA milik
Jokowi. Gugatan tersebut menambah deretan panjang polemik serupa yang telah
berulang kali muncul sejak 2019. Saat itu, isu mengenai keaslian ijazah Jokowi
pertama kali beredar luas di media sosial dan mengundang perdebatan publik.
Polisi pun melakukan penangkapan terhadap penyebar hoax, yakni Umar Kholid
Harahap yang menyebarkan narasi bahwa Jokowi menggunakan ijazah SMA palsu saat
mendaftar sebagai calon presiden. Polisi menetapkan Umar sebagai tersangka atas
penyebaran informasi hoaks yang meresahkan. (CNN Indonesia, 16-4-2025)
Kasus dugaan pemalsuan
ijazah ini bukan yang pertama. Sebelumnya, kasus
serupa pernah menjerat sejumlah tokoh publik, mulai dari mantan Wakil Ketua DPR
RI, rektor universitas, sampai kandidat kepala daerah. Dampaknya, ada
yang berujung pada sanksi hukum dan hilangnya jabatan, tetapi ada juga
yang beritanya menguap seperti asap belerang.
Pada tahun 2011 lalu, Nurdin Halid, Ketua Umum
Partai Golkar Sulawesi Selatan dan Wakil Ketua DPR RI, dituduh menggunakan
ijazah palsu dari Universitas Hasanuddin untuk mencalonkan diri
sebagai Gubernur Sulawesi Selatan pada Pilkada 2007. Meskipun kasus
ini sempat diusut oleh kepolisian, bahkan pihak Unhas mengonfirmasi
bahwa Nurdin Halid bukan alumninya, tetapi kasus ini mangkrak hingga
kini.
Menuai Polemik
Perkembangan kasus isu ijazah palsu Jokowi menunjukkan
fenomena kebuntuan hukum dan ketidakmampuan hukum positif (dalam sistem
sekularisme) dalam mengatasi kasus ini. Mengapa demikian? Karena di satu sisi,
pihak TPUA (Tim Pembela Ulama dan Aktivis) menuntut Jokowi menunjukkan ijazah
aslinya. Sementara di sisi lain, Jokowi dan para kuasa hukumnya berkeras kepala
berpegang pada prinsip hukum “Barangsiapa yang mendalilkan, maka dia harus
membuktikan”. Artinya, beban pembuktian itu menjadi kewajiban TPUA, bukan
kewajiban Jokowi.
Oleh karena itu, Jokowi berkeras kepala hanya mau
menunjukkan ijazah aslinya di pengadilan jika diperintahkan oleh pengadilan.
Sikap Jokowi dan para kuasa hukumnya itu seolah-olah tampak benar dan logis,
yaitu menyelesaikan isu ijazah palsu Jokowi di pengadilan. Akan tetapi, dalam
konteks kekinian, menyelesaikan sengketa di pengadilan, bukan pilihan yang
tepat dan malah terlihat naif. Alasannya, tingkat kepercayaan masyarakat kepada
lembaga pengadilan sedang anjlok secara drastis, setelah terbongkarnya kaus
suap 20 miliar rupiah bagi Ketua Pengadilan Negeri Jakarta Selatan dkk, dalam
kasus korupsi CPU (crude palm oil).
Selain itu, Jokowi sudah terbukti melakukan berbagai
intervensi (cawè-cawè) pada berbagai lembaga, termasuk MK (Mahkamah
Konstitusi) yang akhirnya meloloskan Gibran menjadi Wapres, dengan mengubah
norma hukum tentang usia minimal Wapres. Maka dari itu, isu ijazah palsu Jokowi
nampaknya berada pada pilihan-pilihan sulit yang mengarah pada kebuntuan hukum,
karena pihak Jokowi berpegang dengan kaidah hukum mengenai beban pembuktian,“Barang
siapa mendalilkan (mendakwa/menuduh), maka dia harus membuktikan.”
Sementara pihak penentang Jokowi jika ingin meladeni Jokowi
lewat jalur hukum agar dapat mengajukan bukti-bukti kepalsuan ijazah Jokowi,
juga sangat dilematis. Ini karena pengadilan saat ini bukanlah lembaga yang
berisi hakim-hakim yang mulia, yang jujur dan adil, melainkan lembaga yang
sudah sangat busuk yang dipenuhi oleh hakim-hakim korup yang hina dan cenderung
hanya membela siapa yang bayar.
Di sinilah perlu terobosan hukum, khususnya terobosan
menurut fikih Islam bagaimana caranya menyelesaikan kebuntuan hukum dalam menangani
isu ijazah palsu Jokowi.
Terobosan Hukum Islam
Dalam fikih Islam, meskipun pada dasarnya beban pembuktian
itu menjadi kewajiban pihak yang menuduh (mendalilkan), namun dalam fikih Islam
terdapat anjuran atau kesunahan agar pihak tertuduh menunjukkan bukti-bukti
bantahan yang dapat mementahkan tuduhan dari pihak pertama (yang
menuduh/mendalilkan). Kesunahan menunjukkan bukti-bukti bagi pihak tertuduh
ini, dapat berubah hukumnya menjadi wajib, jika pihak yang dituduh merupakan
ulama atau pemimpin masyarakat yang menjadi panutan.
Penyelesaian sengketa (al-khushūmāt, dispute)
tidak hanya dapat dilakukan di pengadilan (al-qadhā`), namun dapat juga
dilakukan di luar pengadilan, yaitu dapat memilih salah satu dari dua jalur
hukum Islam sbb :
(1), perdamaian (al-shulhu/al-ishlāh) antara dua
pihak yang bersengketa, tanpa melibatkan pihak ketiga.
(2), arbitrase (al-tahkīm, arbitration), yaitu
penyelesaian sengketa di antara dua pihak, dengan melibatkan pihak ketiga yang
disebut muhakkam (mediator non-hakim).
Penyelesaian sengketa seputar isu ijazah palsu Jokowi saat
ini, tidak layak diserahkan kepada pengadilan yang ada pada saat ini. Wallāhu
a’lam.[]