Miris! Harga Beras Mahal Saat Stok Melimpah
Oleh: Marni Mulyani, S.E.
Kondisi negeri ini jauh dari kata baik-baik saja. Di tengah
klaim stok beras yang melimpah, namun harga beras justru terus merangkak naik.
Sebuah ironi di negara agraris yang kaya sumber daya alam, harapan masyarakat
akan kesejahteraan justru kembali terganjal. Bukan karena kurangnya potensi, tetapi
karena ketimpangan yang tak kunjung diselesaikan.
Harga beras terus merangkak naik meski stok nasional
tergolong melimpah, sebuah anomali yang dinilai tak masuk akal oleh Guru Besar
UGM, Prof. Lilik Sutiarso. Ia menyoroti kejanggalan pasar di mana pasokan tidak
sejalan dengan stabilitas harga, bahkan ketika cadangan beras pemerintah
mencapai 4,2 juta ton. Menurutnya, lonjakan harga ini lebih disebabkan oleh
rantai distribusi yang tidak efisien dan kemungkinan permainan kartel. (Beritasatu.com,
19-6-2025)
Tanah yang subur dan kekayaan alam yang melimpah ternyata
tidak cukup untuk membuat negeri ini makmur. Ada sistem yang tidak bisa
dianggap sepele sebagai pemain kunci untuk keberlangsungan kehidupan masyarakat.
Tentunya, sistem tersebut mengikat masyarakat dengan aturan yang adil sehingga
sampailah kesejahteraan dari negara itu kepada masyarakatnya.
Pada kasus kebutuhan pokok masyarakat yaitu beras. Negeri
ini pun menyediakan tanah yang subur untuk bisa ditanami padi. Tidak berhenti
pada ketersediaan lahan pertanian yang disediakan alam untuk dapat ditanami
beras. Namun, ada beberapa hal yang perlu diperhatikan, di antaranya:
Pertama, ketersediaan pupuk yang murah bagi petani menjadi
salah satu faktor yang menentukan apakah harga beras menjadi murah atau
melambung tinggi.
Kedua, pemeliharaan kualitas tanah negeri ini perlu
diperhatikan agar tidak ada tambahan pembiayaan. Di satu sisi dengan
mengguritanya tambang di negeri ini dengan belum efektifnya dalam
penanggulangan limbah air dan kerusakan lingkungan lainnya bisa turut menjadi
faktor yang mempengaruhi sistem irigasi lahan dan kerusakan lahan pertanian
lainnya.
Ketiga, adanya aturan distribusi beras yang efektif dan
efisien agar beras dapat tersalur dengan baik di masyarakat, yaitu diperlukan
peran pemerintah agar bisa memastikan kelancarannya, sehingga terhindar dari
tangan-tangan yang hendak melakukan penimbunan dan kecurangan-kecurangan
lainnya.
Namun demikian, fokus dari faktor penyebab harga beras mahal
dalam kondisi stok beras yang diklaim melimpah saat ini yaitu adanya kebijakan
yang mewajibkan Bulog menyerap gabah petani dalam jumlah besar. Adanya
kebijakan ini mulanya sebagai upaya pemerintah dalam menjaga ketahanan pangan
dan menjaga stabilitas harga di tingkat para petani, karena kekhawatiran utama
bagi perekonomian ketika panen raya tiba adalah jatuhnya harga gabah dan beras
akibat surplus produksi. Hal inilah yang pada akhirnya pemerintah membuat
program penyerapan gabah dan beras oleh perum Bulog beserta dengan harga yang
telah ditetapkan pemerintah yaitu dengan menetapkan Harga Pembelian Pemerintah
(HPP) untuk Gabah Kering Panen (GKP) yaitu sebesar Rp6.500 per kilogram.
Alih-alih dapat memberikan keadilan bagi seluruh lapisan masyarakat, kebijakan
dari penyerapan gabah petani dalam jumlah besar justru menciptakan masalah baru
terhadap ketersediaan stok beras di pasar akibat penumpukan beras di gudang Bulog.
Suplai beras di pasar menjadi terbatas sehingga harga menjadi naik.
Penumpukan yang terjadi di gudang Bulog dalam jangka waktu
yang lama tidak berbeda jauh ketika ada oknum-oknum yang melakukan penimbunan
beras, dalam hal ini dapat mengganggu jalannya pendistribusian beras sampai
kepada masyarakat. Inilah ciri pengelolaan pangan dalam sistem kapitalisme. Tidak
pro-rakyat, tetapi tunduk pada mekanisme pasar dan kepentingan elite. Ada
hal-hal yang perlu diwaspadai agar masyarakat semakin tidak merugi ketika stok
beras dengan jumlah besar masih berada di gudang Bulog. Hal demikian berpotensi
dapat menambah beban APBN untuk mengeluarkan biaya tambahan yaitu biaya
penyimpanan yang dapat memberikan keuntungan bagi para pengusaha gudang dalam
menampung jutaan ton beras pada waktu yang cukup lama, sehingga uang APBN mengalir
ke kantong pengusaha gudang. Selain itu, adanya potensi kerugian negara akibat
dari kualitas beras yang menurun karena penumpukan yang terlalu lama di gudang.
Standar kapitalisme yang dianut oleh hampir seluruh negara
yang ada di dunia saat ini tidak terkecuali Indonesia, menjadikan pangan bukan
termasuk hak dasar rakyat yang wajib dijamin oleh negara, namun hanya sebatas
komoditas yang bisa diperdagangkan demi sebuah keuntungan. Negara hadir
hanyalah bertindak sebagai regulator, bukan pelindung atau penjamin distribusi
yang adil. Pada akhirnya, rakyat miskin
rentan menjadi korban akibat fluktuasi harga pasar. Perlu diingat kembali
lembaga-lembaga pemerintahan di sistem kapitalisme saat ini seperti Perum Bulog
melayani masyarakat bukan fokus semata-mata pada kesejahteraan masyarakat,
namun pada keuntungan. Sebagai Perusahaan Umum (Perum), Bulog wajib beroperasi
disertai dengan orientasi laba berdasarkan ketentuan UU BUMN. Maka bisa
dipahami kesejahteraan rakyat tidak bisa mengandalkan sistem yang ada saat ini,
di mana bukan sebagai lembaga yang murni
memiliki fokus untuk kesejahteraan masyarakat melainkan bekerja atas dasar
keuntungan.
Berbanding terbalik dalam sebuah negara dalam naungan sistem
pemerintahan Islam atau dunia masa silam pasti mengenalnya dengan sebutan
Khilafah, negara memiliki kewajiban mutlak untuk menjamin kebutuhan pokok
rakyat, termasuk pangan bagi rakyatnya. Negara akan mengelola produksi,
distribusi, dan cadangan pangan secara langsung, tanpa menjadikannya sebagai
komoditas dagang. Khilafah akan memberi subsidi bibit, bubuk, maupun memberikan
semprotan kepada petani secara cuma-cuma untuk menjamin kualitas beras yang
dihasilkan. Khilafah juga melarang penimbunan (al-ihtikar), sebagaimana dalam
hadis Rasulullah saw. dalam sahih Muslim dari Said bin al-Musayyib dari
Mu’ammar bin Abdullah al-‘Adawi bahwa Nabi saw. bersabda:
لا يَحْتَكِرُ إِلاَّ خَاطِئٌ
“Tidaklah melakukan
penimbunan kecuali orang yang berbuat kesalahan.”
Kemudian Khilafah juga akan memastikan masyarakat merasakan
adanya distribusi yang merata, sehingga harga stabil dan kebutuhan rakyat
terjamin, serta memastikan harga barang-barang mengikuti mekanisme pasar, bukan
dengan mematok harga sebagaimana dalam Islam melarang adanya intervensi harga.
Kewajiban yang diberikan Khilafah dalam menjamin kebutuhan dasar rakyat ini
merupakan ketundukan pada syariat Islam bukan yang lainnya. Maka, solusi hakiki
bukan tambal sulam regulasi, tapi perubahan sistem ke arah yang lebih baik
yaitu dengan memakai aturan Allah Swt. Wallahu a’lam bishawwab.[]