Harga Beras Naik di Tengah Stok Melimpah: Sinyal Gagalnya Tata Kelola Distribusi Pangan

 


Oleh. Mila Ummu Muthiah

(Aktivis Muslimah)

 

Pada pekan kedua Juni 2025, Badan Pusat Statistik (BPS) melaporkan kenaikan harga beras terjadi di 133 kabupaten/kota, meningkat dari 119 kabupaten/kota pada pekan pertama bulan yang sama. Fakta ini mengejutkan publik, karena pemerintah mengklaim memiliki stok beras melimpah, mencapai 4 juta ton. Kenaikan harga di tengah stok besar ini bukan sekadar anomali pasar, melainkan indikasi kuat kegagalan tata kelola distribusi pangan yang sistemik.

 

Kebijakan Penyerapan Beras: Menolong Petani, Menjerat Rakyat?

 

Pemerintah melalui Kementerian Koordinator Bidang Pangan, sejak Januari 2025, menetapkan Bulog sebagai satu-satunya penampung gabah dan beras petani. Serapan gabah petani dijamin dengan harga Rp6.500 per kg (gabah kering panen), sesuai Instruksi Presiden No. 6 Tahun 2025. Selain itu, pemerintah menghentikan impor beras demi menyejahterakan petani.

 

Di atas kertas, kebijakan ini tampak ideal. Petani diuntungkan karena harga gabah dijaga tetap tinggi. Namun, ketika serapan tidak diimbangi penyaluran yang cepat, stok menumpuk di gudang Bulog. Bulog kemudian dihadapkan pada risiko kualitas beras yang menurun, muncul hama (seperti kasus 300.000 ton beras berkutu awal 2025), hingga potensi kerugian negara yang tidak kecil — kerugian kala itu diperkirakan mencapai Rp3,6 triliun. (CNN Indonesia, 9-1- 2025)

Sementara itu, rakyat sebagai konsumen akhir harus membeli beras di atas harga eceran tertinggi (HET) yang telah ditetapkan. Selama berbulan-bulan, harga beras medium dan premium tetap melampaui HET, bahkan di beberapa daerah menjadi barang langka. Hal ini diamini oleh pengamat pertanian Asosiasi Ekonomi Politik Indonesia (AEPI) Khudori yang menilai bahwa kebijakan serapan tinggi tanpa distribusi yang efisien justru memicu kenaikan harga di pasar. (Kompas, 10-6-2025)

 

Distribusi: Masalah Klasik yang Tak Pernah Usai

 

Rantai distribusi pangan di Indonesia sangat panjang dan berliku: dari petani ke pengumpul, pedagang besar, distributor, hingga pengecer. Setiap mata rantai ini membuka celah manipulasi harga. Tengkulak atau middleman memanfaatkan celah untuk menimbun stok demi mengatur kelangkaan palsu agar harga melonjak.

Kondisi semakin rumit ketika administrasi pendataan penerima bantuan pangan juga bermasalah. Masih sering ditemukan data ganda, data fiktif, atau penerima yang sudah pindah atau meninggal. Data yang tidak sinkron antara pusat dan daerah membuat bansos rawan salah sasaran. Akibatnya, bansos beras yang seharusnya menekan harga pasar malah hanya menjadi proyek distribusi yang sarat kepentingan politik dan ekonomi.

 

Fakta bahwa bansos untuk dua bulan (Juni–Juli) digabungkan dan disalurkan sekaligus pun semakin memperjelas lemahnya sistem distribusi. Menteri Pertanian Amran Sulaiman beralasan, penyaluran ini untuk menstabilkan harga gabah yang masih di bawah Harga Pembelian Pemerintah (HPP). Namun, logika semacam ini hanya menambah beban bagi rakyat. Ketika distribusi tidak lancar, harga melonjak, rakyat kecillah yang paling terdampak.

 

Negara Sebatas Regulator: Wajah Kapitalisme dalam Pangan

 

Dalam sistem kapitalisme, pangan dipandang sebagai komoditas, bukan hak dasar rakyat. Negara hanya bertindak sebagai regulator, bukan penjamin kesejahteraan rakyat. Negara lepas tangan dalam memastikan distribusi berjalan adil dan tepat sasaran.

 

Ketika pangan diatur pasar, penentu harga sejati bukan pemerintah, melainkan para pemilik modal. Fluktuasi harga beras yang terus menekan daya beli rakyat merupakan bukti nyata bahwa negara tidak benar-benar hadir untuk melindungi warganya.

 

Distribusi bansos yang diklaim sebagai “bantuan” justru menjadi instrumen politik untuk mendulang simpati menjelang momentum tertentu. Ironisnya, rakyat hanya dijadikan objek penderita. Bukan hanya harga beras yang naik, tetapi juga kepercayaan masyarakat terhadap pemerintah yang semakin tergerus.

 

Islam dan Tata Kelola Pangan yang Adil

 

Berbeda dengan kapitalisme, Islam memandang pangan sebagai hak mendasar yang wajib dijamin negara. Dalam sistem Khilafah, negara akan mengelola seluruh proses mulai dari produksi hingga distribusi, tanpa memanfaatkan celah untuk keuntungan segelintir pihak.

 

Negara akan memberikan bantuan penuh kepada petani, mulai dari subsidi pupuk, benih, hingga infrastruktur pertanian, tanpa membebani mereka dengan utang. Negara juga melarang keras praktik penimbunan, monopoli, dan kartel. Praktik-praktik yang menyebabkan kenaikan harga secara tidak wajar adalah haram dalam Islam.

Dalam hadis riwayat Ahmad, Rasulullah saw. bersabda bahwa penetapan harga adalah hak Allah. Negara dilarang mematok harga yang memberatkan rakyat atau membiarkan pihak tertentu mempermainkan pasar.

 

Selain itu, lembaga hisbah dalam struktur pemerintahan Islam berperan sebagai pengawas pasar. Hisbah tidak memerlukan proses sidang panjang, melainkan dapat langsung memberikan sanksi tegas di tempat jika ditemukan pelanggaran. Negara memastikan distribusi merata hingga wilayah terpencil, membangun infrastruktur publik, serta menata data administrasi rakyat secara akurat.

 

Melalui mekanisme ini, harga beras tetap stabil, bantuan pangan tepat sasaran, dan rakyat dijamin kebutuhannya. Tidak ada dikotomi “beras untuk orang miskin” dan “beras untuk orang kaya” karena kualitas pangan dijaga seragam untuk semua.

 

Membutuhkan Transformasi Sistemik, Bukan Tambal Sulam

 

Kenaikan harga beras di tengah stok melimpah mengungkap wajah rapuhnya manajemen pangan nasional. Permasalahan distribusi yang berlarut-larut adalah akibat logis dari diterapkannya sistem kapitalisme yang tidak menjadikan kesejahteraan rakyat sebagai prioritas.

 

Transformasi yang dibutuhkan bukan sekadar memperbaiki distribusi atau mengoptimalkan bansos, melainkan perubahan menyeluruh pada paradigma pengelolaan pangan. Islam, dengan aturan ekonomi dan sistem politiknya yang menyatu, menawarkan solusi integral yang berorientasi pada kemaslahatan rakyat, bukan keuntungan segelintir pihak.

 

Sudah saatnya kita berhenti berharap pada tambal sulam kebijakan parsial dan mulai mempertimbangkan penerapan sistem alternatif yang telah terbukti menyejahterakan umat sepanjang sejarah. Sistem yang menjadikan negara sebagai pelayan rakyat, bukan sekadar regulator pasar. Wallahu a’lam bishawwab.[]

 

Artikel Terkait

Bijak Menilai Konten Pejabat

Mustafa Kemal Attaturk dan Hancurnya Negara Islam

Polemik Panjang Ijazah Jokowi