Beras Premium Bermasalah: Bukti Lemahnya Negara Sekuler Kapitalisme

 


Oleh: Mila Ummu Muthiah

(Aktivis Muslimah)


Menteri Pertanian Andi Amran Sulaiman baru-baru ini mengungkap temuan mengejutkan. Dari hasil pengujian 268 merek beras premium di 10 provinsi, ternyata 212 di antaranya,  atau sekitar 85,56% tidak sesuai standar mutu. Selain itu, 59,78% dijual di atas Harga Eceran Tertinggi (HET), dan 21% tidak sesuai takaran beratnya. Data ini diambil dari uji laboratorium di 13 laboratorium berbeda, dipaparkan saat konferensi pers pada Kamis (26/6/2025).

 

Kasus ini mengguncang kepercayaan publik. Bagaimana tidak? Konsumen telah dirugikan hingga Rp99 triliun (MNews, 9/7/2025). Penipuan terjadi secara masif dan terstruktur, tidak hanya soal mutu, tetapi juga manipulasi harga yang semakin mencekik rakyat.

 

Akar Masalah

 

Pengamat kebijakan publik Emilda Tanjung menilai akar masalah terletak pada lemahnya peran negara dalam sistem demokrasi kapitalisme. Negara hanya berfungsi sebagai regulator dan fasilitator, sedangkan korporasi dan pedagang swasta memegang kendali penuh atas pangan, dari hulu hingga hilir.

 

Orientasi mereka jelas: keuntungan semata. Kemaslahatan rakyat bukan prioritas. Tidak mengherankan jika mafia pangan tumbuh subur, bebas menipu, dan sulit diberantas. Dalam kondisi ini, pemerintah seringkali sekadar berperan pasif, sibuk mengeluarkan regulasi yang tidak “bergigi”.

 

Di atas kertas, regulasi memang ada, tetapi minim pengawasan dan penegakan. Celah hukum dibiarkan terbuka, memberi ruang bagi penipuan dan manipulasi. Alih-alih melindungi rakyat, regulasi justru sering memperparah masalah, karena dibuat dengan kepentingan politik dan ekonomi kelompok tertentu.

 

Hal inilah yang membuat beras premium palsu bisa beredar luas, harga terus naik meski stok melimpah, dan program distribusi seperti SPHP (Stabilisasi Pasokan dan Harga Pangan) tidak tepat sasaran.

 

Paradigma Kapitalisme: Bisnis Lebih Penting dari Kesejahteraan Rakyat

Akar lain dari masalah ini adalah sistem ekonomi kapitalistik yang menempatkan pangan sebagai komoditas dagang, bukan hak dasar rakyat. Negara lebih sibuk membuka pasar dan memberi ruang pada swasta daripada mengurus langsung kebutuhan masyarakat.

 

Akibatnya, masyarakat kelas bawah menjadi korban. Mereka dipaksa membeli beras mahal, bahkan sering kali berkualitas rendah. Penipuan berat timbangan pun membuat masyarakat kehilangan haknya secara diam-diam.

 

Sistem kapitalisme telah membiarkan pasar diatur sepenuhnya oleh mekanisme untung rugi. Negara sekadar “penjaga pagar” yang tidak punya kuasa masuk ke dalam, apalagi memberantas mafia atau memperbaiki distribusi pangan yang amburadul.

 

Solusi Islam: Negara Pelayan dan Pelindung

 

Di sinilah Islam hadir menawarkan konsep berbeda. Emilda Tanjung menegaskan bahwa dalam Islam, negara wajib hadir sebagai raa’in (pelayan) dan junnah (pelindung) bagi rakyatnya. Negara harus mengurus langsung pangan dari hulu (produksi) hingga hilir (distribusi), bukan diserahkan ke pasar bebas.

 

Pemerintah dalam sistem Islam bertanggung jawab memastikan setiap individu memperoleh pangan yang cukup, halal, dan tayib (baik). Artinya, negara tidak hanya menjaga kualitas pangan, tetapi juga menjamin keterjangkauan harga dan keadilan distribusi.

 

Selain itu, negara mengangkat kadi muhtasib, pejabat yang bertugas melakukan patroli ke pasar-pasar untuk mengawasi dan langsung menindak praktik curang. Langkah ini bukan sekadar solusi kuratif (penyembuhan setelah terjadi), tetapi juga preventif (pencegahan sebelum terjadi). Dengan demikian, potensi kecurangan ditekan sejak dini.

 

Islam juga menutup peluang mafia dan spekulan dengan aturan tegas melarang penimbunan dan manipulasi harga. Negara bukan hanya mengawasi, tetapi juga menyediakan infrastruktur distribusi yang memadai agar akses pangan merata hingga wilayah terpencil.

 

Kebutuhan Paradigma Baru

 

Kasus beras premium palsu ini seharusnya menjadi momen refleksi nasional. Betapa rapuhnya perlindungan negara terhadap kebutuhan paling mendasar rakyat: pangan. Kejadian ini bukan sekadar kesalahan teknis, melainkan kegagalan sistemik yang berakar pada paradigma keliru.

 

Selama pangan dipandang sebagai komoditas, selama negara lebih tunduk pada kepentingan korporasi daripada rakyat, masalah ini akan terus berulang. Dibutuhkan perubahan paradigma mendasar, yaitu menjadikan negara sebagai pelayan penuh, bukan sekadar regulator pasif.

 

Islam menawarkan sistem yang holistik dan terbukti membawa keadilan serta kesejahteraan, karena berlandaskan wahyu, bukan akal manusia yang terbatas dan sarat kepentingan.

 

Khatimah

 

Kasus 85% beras premium palsu ini adalah tamparan keras bagi negara yang lalai menjalankan fungsi pengawasan dan perlindungan rakyat. Kita membutuhkan perubahan mendasar, bukan sekadar penindakan reaktif atau edukasi yang tidak menyentuh akar masalah.

 

Jika negara benar-benar ingin membela rakyat, maka sudah saatnya meninggalkan paradigma kapitalistik yang menyesatkan. Sudah saatnya mempertimbangkan sistem yang berorientasi penuh pada pelayanan, yakni sistem Islam. Wallahu a’lam bishawwab.[]


Artikel Terkait

Bijak Menilai Konten Pejabat

Polemik Panjang Ijazah Jokowi

Mustafa Kemal Attaturk dan Hancurnya Negara Islam