Membaca Arah Politik dari Perang Israel-AS vs Iran: dan Bagaimana Nasib Gaza?

 


Oleh. Ummu Muthiah

(Aktivis Muslimah)

 

Konflik bersenjata yang meletus pada 13 Juni 2025 antara Israel dan Iran kembali menyibak realitas pahit dunia Islam. Israel melancarkan serangan udara yang menewaskan ilmuwan nuklir dan komandan militer Iran. Iran membalas dengan ratusan rudal ke kota-kota Israel. Tak berhenti di situ, Amerika Serikat (AS) ikut masuk gelanggang pada 22 Juni, mengebom fasilitas nuklir Iran di Natanz, Fordow, dan Isfahan.

Data menyebutkan, 610 warga Iran tewas dan 28 orang di Israel menjadi korban. Lebih dari 200 jet tempur Israel menghantam 100 fasilitas Iran, termasuk wilayah permukiman. Iran pun menembakkan rudal ke pangkalan udara terbesar AS di Qatar (CNBC Indonesia, 27/6/2025).

Sekilas, serangan balasan Iran menunjukkan umat Islam memiliki kekuatan. Namun, jika kita cermati lebih dalam, serangan itu bukanlah upaya serius untuk membebaskan Palestina dari penjajahan Zionis. Bahkan, seolah menjadi reaksi sporadis yang tidak terencana dalam kerangka perjuangan strategis.

Kendala Politik: Nasionalisme, Hukum Internasional, dan Ancaman AS

Setidaknya ada tiga faktor yang menahan Iran untuk melakukan konfrontasi total.

Pertama, nasionalisme. Iran masih terjebak paradigma negara-bangsa modern, memprioritaskan kepentingan nasional di atas solidaritas umat. Hal ini sejalan dengan analisis Dr. Trita Parsi yang menyebut Iran selalu menyeimbangkan retorika ideologis dengan kalkulasi rasional nasional.

Kedua, hukum internasional. Iran sangat berhati-hati agar tidak dianggap memicu perang terbuka global, terutama di jalur strategis seperti Selat Hormuz. Pakar hukum Dr. Eugene Kontorovich menegaskan bahwa penutupan jalur pelayaran internasional akan memancing koalisi global turun tangan.

Ketiga, ancaman intervensi AS. Menurut Prof. Stephen Walt (Harvard University), setiap ancaman eksistensial terhadap Israel pasti dihadapi dengan kekuatan penuh oleh Amerika.

Dengan demikian, masalah utama bukan pada kekurangan kemampuan militer, melainkan pada tidak adanya kemauan politik kolektif umat Islam untuk benar-benar menumbangkan eksistensi Zionis.

Gaza Tetap Sendiri: Simbol Ketidakpedulian Dunia Muslim

Gaza adalah saksi betapa kesendirian menjadi nasib panjang rakyat Palestina. Memang, Iran mendukung Hamas dengan senjata, pelatihan, hingga dana ratusan juta dolar. Namun, pengakuan Khalid Misy’al dari Hamas menegaskan bahwa Iran menggunakan dukungan ini untuk mempertahankan pengaruh politik di kawasan, bukan murni demi kemerdekaan Palestina.

Di sisi lain, mayoritas negeri-negeri Muslim memilih diam atau bahkan menormalisasi hubungan dengan Israel. Sejak 2020, UEA, Bahrain, Sudan, dan Maroko bergabung dengan Mesir dan Yordania menjalin hubungan diplomatik dengan Israel.

Alasan yang dikemukakan, katanya, demi membantu Palestina. Padahal, fakta membuktikan normalisasi ini hanya memperkuat posisi Israel dan memperlemah perjuangan rakyat Palestina. Turki, misalnya, telah lama menjalin hubungan resmi dengan Israel sejak 1949, namun tidak menghasilkan dampak positif bagi Palestina.

Para penguasa negeri Muslim lebih khawatir kehilangan kursi kekuasaan daripada melihat penderitaan Gaza yang diblokade dan dibombardir. Penjagaan ketat di Rafah oleh Mesir menunjukkan betapa jalur bantuan pun dikendalikan demi kepentingan Israel dan AS.

Dukungan Global pada Israel: Panggung Kapitalisme Internasional

Sejak awal, Israel memang menjadi "anak emas" Barat. Sejarah mencatat, setelah Perang Dunia I, Inggris membuka jalan berdirinya Israel. Setelah Uni Soviet runtuh, AS mengambil alih sebagai pelindung utama Zionis.

Pada 2020, AS memberikan bantuan militer senilai US$3,8 miliar per tahun untuk Israel, dan total US$38 miliar hingga 2028 (BBC, 24/5/2021). Bahkan, Maret 2025 lalu, AS kembali mengucurkan bantuan senilai Rp66 triliun (US$4 miliar).

Pernyataan Menlu AS Marco Rubio menegaskan: “AS akan terus menggunakan semua alat yang tersedia untuk mendukung keamanan Israel.” Dukungan inilah yang menjadikan Israel percaya diri dan tidak gentar menghadapi serangan balasan apa pun.

Solusi Islam: Khilafah sebagai Pemersatu dan Pelindung

Fakta ini membuktikan bahwa Iran tidak bisa dibiarkan sendiri. Butuh kekuatan umat Islam yang bersatu dalam satu kepemimpinan politik dan militer global — Khilafah.

Khilafah akan menanggalkan sekat nasionalisme sempit dan menjadikan jihad sebagai metode sahih untuk membebaskan wilayah-wilayah yang terjajah. Negara ini akan mengonsolidasikan kekuatan militer dan ekonomi umat, seperti yang dicontohkan Salahuddin Al-Ayyubi saat membebaskan Al-Quds.

Dalam Khilafah, pasukan militer dikoordinasi secara terpusat, industri pertahanan dibangun mandiri, dan strategi pembebasan dijalankan menyeluruh, bukan sekadar simbolik atau politis.

Khatimah

Konflik Iran-Israel 2025 bukan sekadar bentrokan dua negara, tetapi cermin kelumpuhan politik umat Islam global. Gaza tetap sendiri, dan para pemimpin Muslim terus berkompromi dengan musuh.

Umat Islam harus berhenti menjadi penonton dan bangkit membangun kekuatan politik nyata. Karena hanya dengan institusi Islam yang independen dan kuat, Palestina dapat benar-benar dibebaskan.

Wallahu a’lam bish-shawab.[]

 

Artikel Terkait

Bijak Menilai Konten Pejabat

Polemik Panjang Ijazah Jokowi

Mustafa Kemal Attaturk dan Hancurnya Negara Islam